Sejarah Hari Raya Kuningan: Asal Usul, Makna, dan Filosofi Suci dalam Kehidupan Umat Hindu Bali

Sejarah Hari Raya Kuningan menjadi bagian penting dari rangkaian upacara keagamaan Hindu di Bali. Hari suci ini dirayakan setiap 210 hari sekali, atau sepuluh hari setelah Hari Raya Galungan, berdasarkan sistem penanggalan pawukon Bali.

Hari Raya Kuningan memiliki akar sejarah dan nilai spiritual yang mendalam, menggambarkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Lebih dari sekadar tradisi, Kuningan merupakan refleksi dari ajaran kehidupan yang mengajarkan keseimbangan, kesucian, dan rasa syukur atas karunia yang telah diberikan oleh Sang Hyang Widhi Wasa.

Baca Juga: Upacara Hari Raya Kuningan: Tradisi Suci dan Simbol Keharmonisan Umat Hindu Bali

Asal Usul dan Sejarah Hari Raya Kuningan

Dalam sejarahnya, Hari Raya Kuningan berawal dari kepercayaan umat Hindu di Bali tentang turunnya para dewa dan roh leluhur ke dunia pada Hari Raya Galungan. Mereka datang untuk memberikan berkah, kedamaian, serta kesejahteraan bagi manusia. Setelah sepuluh hari berada di dunia, tepat pada Hari Raya Kuningan, para dewa dan leluhur kembali ke kayangan (alam suci).

Oleh sebab itu, umat Hindu Bali mengadakan upacara Kuningan sebagai bentuk penghormatan dan perpisahan kepada para leluhur. Tradisi ini telah dilaksanakan sejak masa kerajaan kuno di Bali, khususnya ketika ajaran Siwa-Buddha berkembang pesat pada abad ke-10 hingga ke-14 Masehi.

Dalam beberapa lontar kuno seperti Lontar Sundarigama dan Lontar Purana Bali Dwipa, disebutkan bahwa Hari Kuningan merupakan puncak dari rangkaian upacara Galungan. Lontar tersebut menjelaskan bahwa pada hari Kuningan, umat manusia harus mempersembahkan banten kuningan dan mengucap syukur karena para dewa telah turun memberikan cahaya suci kehidupan.

Makna Filosofis Hari Raya Kuningan

Secara etimologis, kata “Kuningan” berasal dari kata kuning, yang dalam kepercayaan Hindu melambangkan kemurnian, kesucian, dan kebahagiaan. Warna kuning juga melambangkan sinar ilahi dan kebijaksanaan Tuhan yang menerangi kehidupan manusia.

Makna Hari Raya Kuningan tidak hanya terbatas pada perayaan spiritual, tetapi juga memiliki dimensi filosofis yang luas:

  1. Kuningan sebagai simbol keseimbangan.
    Hari ini mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawi dan rohani.

  2. Kuningan sebagai wujud rasa syukur.
    Umat Hindu mempersembahkan banten sebagai ungkapan terima kasih atas berkah kehidupan dan keselamatan.

  3. Kuningan sebagai momentum penyucian diri.
    Umat diingatkan untuk membersihkan hati dari sifat buruk seperti iri hati, amarah, dan keserakahan.

Dengan demikian, Sejarah Hari Raya Kuningan mencerminkan nilai-nilai universal tentang kebajikan, kedamaian, dan keharmonisan hidup.

Perkembangan Sejarah Hari Raya Kuningan di Bali

Dalam perjalanan sejarahnya, Hari Raya Kuningan tidak hanya dikenal di lingkungan kerajaan dan kaum brahmana, tetapi juga menyebar ke seluruh lapisan masyarakat Bali.

Pada masa Kerajaan Majapahit dan setelahnya, budaya Hindu Jawa turut memperkaya tradisi Kuningan di Bali, menciptakan perpaduan antara ajaran spiritual dan budaya lokal. Peninggalan seperti banten kuningan, endongan, dan sampian kuning menjadi bukti bahwa tradisi ini telah melekat kuat dalam kehidupan masyarakat sejak berabad-abad lalu.

Selain di Bali, tradisi Kuningan juga dirayakan oleh umat Hindu di Lombok, Kalimantan, dan sebagian wilayah Jawa Timur, menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam perayaan ini bersifat luas dan lintas daerah.

Ritual dan Tradisi Hari Raya Kuningan

Dalam pelaksanaan Upacara Hari Raya Kuningan, umat Hindu Bali melakukan persembahyangan sejak pagi hari hingga menjelang siang. Hal ini karena diyakini bahwa setelah tengah hari, para dewa dan leluhur telah kembali ke kayangan.

Beberapa tradisi penting dalam perayaan ini antara lain:

  • Banten Kuningan: Sesajen berwarna kuning yang terdiri dari tumpeng kuning, ketupat, buah-buahan, dan endongan (anyaman janur berbentuk tas).

  • Persembahyangan Bersama: Dilakukan di pura keluarga dan pura desa, sebagai bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih.

  • Simbol Warna Kuning: Melambangkan kesucian, kemakmuran, dan kebijaksanaan ilahi.

Ritual ini tidak hanya bersifat seremonial, tetapi juga menjadi pengingat akan keterhubungan spiritual antara manusia dan leluhur.

Nilai Sosial dan Spiritual dari Sejarah Hari Raya Kuningan

Dalam konteks sosial budaya, Sejarah Hari Raya Kuningan mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakat Bali yang selalu menjaga keseimbangan antara kehidupan spiritual dan sosial.

Tradisi saling berkunjung, berbagi makanan, dan mempererat tali silaturahmi menjadi bagian penting dari perayaan ini. Dengan demikian, Hari Kuningan tidak hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga sarana memperkuat ikatan sosial antarumat Hindu.

Dari sisi spiritual, perayaan ini menjadi waktu yang tepat bagi umat untuk merenungkan perjalanan hidup, memohon ampun, dan memperbaharui tekad untuk berbuat kebajikan.

Pelestarian Sejarah Hari Raya Kuningan di Era Modern

Di era modern, pelestarian Sejarah Hari Raya Kuningan menjadi prioritas penting dalam menjaga warisan budaya bangsa. Pemerintah daerah Bali bersama lembaga adat dan tokoh agama terus melakukan upaya pelestarian melalui pendidikan budaya, kegiatan keagamaan, dan promosi wisata spiritual.

Generasi muda Bali diajak untuk memahami tidak hanya sisi ritual, tetapi juga nilai filosofi dan sejarah yang terkandung di dalamnya. Media sosial, festival budaya, serta kegiatan adat kini menjadi sarana efektif dalam memperkenalkan makna sejati Hari Raya Kuningan kepada dunia.

Baca Juga: Perayaan Galungan Umat Hindu: Momentum Kemenangan Dharma atas Adharma dan Kebangkitan Spiritualitas

Sejarah Hari Raya Kuningan adalah kisah panjang tentang ajaran, budaya, dan kepercayaan yang hidup di tengah masyarakat Hindu Bali. Lebih dari sekadar upacara, Kuningan adalah manifestasi dari rasa syukur, kebersamaan, dan penghormatan terhadap leluhur.

Dalam arus globalisasi yang semakin cepat, peringatan Hari Raya Kuningan tetap menjadi pilar penting dalam menjaga identitas dan spiritualitas masyarakat Bali. Nilai-nilainya yang universal — tentang kesucian, keharmonisan, dan kebijaksanaan — menjadikan perayaan ini relevan bagi seluruh umat manusia.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 437 Kali.