Filosofi Hari Raya Galungan: Kemenangan Dharma atas Adharma dan Refleksi Kehidupan Umat Hindu
Oksibil – Setiap enam bulan sekali, umat Hindu di seluruh Indonesia merayakan Hari Raya Galungan, salah satu perayaan suci yang sarat makna spiritual. Namun di balik kemeriahan dan keindahan penjor yang menghiasi jalan-jalan Bali, tersimpan makna mendalam tentang filosofi Hari Raya Galungan: yaitu kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan) dan perjuangan manusia untuk mencapai kesucian hidup.
Makna dan Filosofi Hari Raya Galungan
Secara etimologis, kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti “menang” atau “kemenangan”. Dalam konteks keagamaan Hindu, Galungan merupakan simbol kemenangan kebenaran atas keburukan, cahaya atas kegelapan, serta kedamaian atas kekacauan batin.
Filosofi Hari Raya Galungan mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki dua kekuatan yang saling bertentangan di dalam dirinya: dharma (kebaikan) dan adharma (kejahatan). Kemenangan dharma terjadi ketika seseorang mampu mengendalikan nafsu, amarah, dan keserakahan, serta memilih hidup dalam jalan kebenaran dan kebajikan.
Umat Hindu percaya bahwa pada saat Galungan, para dewa dan roh leluhur turun ke bumi untuk memberkati keluarga mereka yang masih hidup. Karena itu, umat Hindu mempersembahkan sesajen sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan kepada para leluhur.
Filosofi Galungan dalam Ajaran Hindu
Dalam ajaran Hindu, dharma adalah hukum universal yang mengatur keseimbangan dan kebenaran dalam kehidupan. Ia bukan hanya ajaran moral, tetapi juga cara hidup yang selaras dengan kehendak Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa).
Sebaliknya, adharma adalah kekuatan yang membawa manusia menjauh dari jalan kebenaran – berupa keangkuhan, keserakahan, kebohongan, dan kekerasan.
Filosofi Hari Raya Galungan mengajarkan bahwa peperangan antara dharma dan adharma tidak terjadi di luar diri manusia, melainkan di dalam hati dan pikiran. Ketika manusia mampu menundukkan adharma dalam dirinya, ia telah memenangkan Galungan sejati.
Filosofi ini juga mengandung pesan bahwa kebaikan tidak akan pernah musnah, meskipun kejahatan tampak kuat. Dengan niat tulus dan keteguhan iman, dharma akan selalu berjaya pada akhirnya.
Rangkaian Upacara Galungan dan Nilai Filosofinya
Perayaan Hari Raya Galungan tidak berdiri sendiri, melainkan melalui serangkaian upacara yang masing-masing memiliki makna filosofis mendalam:
-
Penyekeban (tiga hari sebelum Galungan)
Tahap ini mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan pengekangan nafsu duniawi. Umat menenangkan pikiran dan jiwa untuk menyambut datangnya Galungan. -
Penyajaan (dua hari sebelum Galungan)
Tahap persiapan sesajen melambangkan ketulusan hati dan rasa syukur atas segala berkah yang diberikan Tuhan. -
Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan)
Secara simbolis, penyembelihan hewan persembahan menggambarkan pengendalian terhadap sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia – seperti amarah, keserakahan, dan iri hati. -
Hari Raya Galungan (puncak perayaan)
Hari kemenangan dharma atas adharma. Umat Hindu bersembahyang di pura dan di rumah untuk memanjatkan rasa syukur dan memohon kedamaian. -
Manis Galungan (sehari setelah Galungan)
Hari penuh kebahagiaan dan silaturahmi keluarga, mencerminkan kemenangan yang membawa kedamaian, bukan kesombongan.
Penjor: Simbol Filosofis Galungan
Salah satu unsur paling khas dalam Hari Raya Galungan adalah penjor – batang bambu tinggi yang dihiasi janur, buah, dan hasil bumi. Dalam filosofi Hindu, penjor melambangkan Gunung Agung, tempat bersemayam para dewa.
Ujung penjor yang melengkung ke depan menggambarkan kerendahan hati manusia di hadapan Tuhan, sementara hasil bumi yang tergantung di bawahnya mencerminkan rasa syukur atas rezeki dan kehidupan yang diberikan.
Dengan demikian, penjor tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, melainkan juga sebagai perwujudan ajaran dharma: keseimbangan antara manusia, Tuhan, dan alam semesta (Tri Hita Karana).
Filosofi Hari Raya Galungan dalam Kehidupan Modern
Dalam dunia modern yang serba cepat dan penuh tantangan moral, filosofi Hari Raya Galungan menjadi sangat relevan. Galungan mengingatkan manusia untuk tidak terjebak dalam keserakahan, kepalsuan, dan egoisme, tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai kejujuran, kesucian, dan kebersamaan.
Bagi umat Hindu, Galungan bukan hanya hari raya ritual, tetapi juga refleksi kehidupan modern. Bagaimana seseorang berjuang melawan sifat-sifat buruk dalam diri, menghindari korupsi moral, dan tetap menegakkan nilai-nilai dharma di tengah perubahan zaman.
Pemerintah daerah, terutama di Bali, juga mendukung pelestarian filosofi Galungan ini melalui berbagai kegiatan edukatif dan budaya. Sekolah-sekolah mengajarkan generasi muda tentang makna dan nilai-nilai luhur dari Galungan agar tradisi ini tidak sekadar dirayakan, tetapi juga dipahami secara mendalam.
Filosofi Sosial: Galungan Sebagai Momentum Persaudaraan
Selain makna spiritual, filosofi Hari Raya Galungan juga mengandung nilai sosial yang kuat.
Galungan menumbuhkan semangat gotong royong dan solidaritas. Masyarakat saling membantu dalam persiapan upacara, saling berbagi makanan, dan mempererat hubungan keluarga.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, filosofi Galungan mengajarkan pentingnya hidup berdampingan dalam harmoni, menghormati perbedaan, dan menjaga kedamaian antarumat beragama.
Filosofi Hari Raya Galungan Sebagai Cermin Kehidupan
Filosofi Hari Raya Galungan adalah cerminan dari perjalanan spiritual manusia menuju kemenangan sejati. Galungan mengajarkan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menegakkan dharma – kebenaran, kasih sayang, dan kejujuran – dalam kehidupannya sehari-hari.
Kemenangan dharma atas adharma bukanlah kemenangan sesaat, melainkan proses panjang yang membutuhkan kesabaran, kesadaran, dan ketulusan hati.
Melalui semangat Galungan, umat Hindu diingatkan untuk selalu berbuat baik, menjaga keseimbangan dengan alam, dan menebarkan kedamaian kepada sesama.
Baca Juga: Perayaan Galungan Umat Hindu: Momentum Kemenangan Dharma atas Adharma dan Kebangkitan Spiritualitas