Sutomo Sang Revolusioner: Biografi Singkat Pahlawan yang Menolak Menyerah

Di tengah semangat peringatan Hari Pahlawan 10 November, nama Sutomo, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Bung Tomo, selalu menggema sebagai simbol keberanian dan tekad pantang menyerah. Sosok revolusioner ini lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920, dan tumbuh dalam keluarga sederhana yang menanamkan nilai pendidikan dan kerja keras.

Sejak muda, Sutomo dikenal cerdas, kritis, dan peduli pada kondisi sosial di sekitarnya. Krisis ekonomi global pada masa mudanya membuatnya harus meninggalkan sekolah di tingkat MULO (setara SMP). Namun, keterbatasan tidak membuatnya berhenti belajar. Ia menempuh pendidikan nonformal, aktif dalam gerakan kepanduan, dan mulai menulis di berbagai surat kabar lokal.

Dunia jurnalistik menjadi tempat pertama ia menyalakan api perjuangan. Sebagai penulis dan wartawan muda, Sutomo menggunakan pena sebagai senjata melawan ketidakadilan. Ia menyuarakan penderitaan rakyat dan menyerukan pentingnya kesadaran nasional. Pengalaman di Kantor Berita Domei (kini ANTARA) membentuknya menjadi komunikator ulung yang memahami kekuatan kata-kata dan media.

Baca Juga: Mengapa Kita Memperingati Hari Pahlawan Setiap 10 November? Ini Penjelasannya!

Dari Pena ke Mikrofon: Suara yang Menggetarkan Bangsa

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, ancaman penjajahan belum berakhir. Kedatangan pasukan Sekutu yang disusupi tentara NICA Belanda memicu ketegangan di Surabaya. Ketika Sekutu mengeluarkan ultimatum agar rakyat menyerahkan senjata, Sutomo tampil sebagai penggerak rakyat.

Ia mendirikan Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) dan menjadikan gelombang udara sebagai medan perjuangan. Melalui radio itu, suaranya yang lantang dan bergetar menyalakan keberanian rakyat. Orasinya bukan sekadar pidato, melainkan seruan suci yang menggugah semangat jutaan jiwa:

“Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: Merdeka atau Mati! Allahu Akbar!”

Pidato itu menjadi api perjuangan yang membakar semangat rakyat Surabaya. Di bawah seruan Bung Tomo, mereka bangkit menghadapi pasukan Sekutu yang bersenjata lengkap, meski hanya berbekal bambu runcing dan tekad baja. Dari Surabaya, suara revolusi bergema ke seluruh penjuru Nusantara.

Pertempuran Surabaya: Lahirnya Hari Pahlawan

Tanggal 10 November 1945 menjadi saksi pertempuran dahsyat antara rakyat Surabaya dan pasukan Sekutu. Ribuan jiwa gugur, kota porak-poranda, namun semangat juang rakyat tidak padam. Dunia menyaksikan keberanian luar biasa bangsa muda Indonesia yang menolak kembali dijajah.

Pertempuran inilah yang melahirkan Hari Pahlawan, sebuah pengakuan terhadap semangat pengorbanan yang tak ternilai. Bung Tomo menjadi simbol perjuangan rakyat,  bukan karena senjata yang ia genggam, tetapi karena kata-kata yang ia ucapkan mampu mengguncang sejarah. Ia mengubah ketakutan menjadi kekuatan, keputusasaan menjadi harapan.

Kritis pada Kekuasaan, Setia pada Rakyat

Usai revolusi, Bung Tomo tetap menunjukkan jati diri seorang pejuang sejati. Ia terjun ke dunia politik, pernah menjabat sebagai Menteri Negara, namun tetap dikenal kritis terhadap penguasa, baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Bung Tomo menolak tunduk pada kemapanan dan ketidakadilan. Bagi dia, perjuangan tidak berhenti setelah perang berakhir. Ia percaya bahwa mempertahankan moral dan kejujuran dalam kehidupan berbangsa adalah bentuk perjuangan tertinggi. Sikapnya yang berani mengkritik kekuasaan menunjukkan loyalitas sejati kepada rakyat, bukan kepada jabatan.

Bung Tomo wafat pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, Arab Saudi, saat menunaikan ibadah haji. Sesuai keinginannya, ia dimakamkan bukan di Taman Makam Pahlawan, melainkan di TPU Ngagel, Surabaya, sebagai bentuk kesederhanaan dan kedekatan dengan rakyat. Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional atas jasa dan pengabdiannya.

Meneladani Keberanian untuk Tidak Menyerah

Sutomo mengajarkan bahwa keberanian tidak selalu berarti mengangkat senjata. Keberanian sejati adalah keyakinan untuk mempertahankan kebenaran dan menolak menyerah pada keadaan.

Dalam konteks kekinian, semangat revolusioner Bung Tomo dapat diwujudkan melalui kejujuran, integritas, kerja keras, dan kepedulian terhadap sesama. Hari Pahlawan menjadi pengingat bahwa kemerdekaan dan keadilan harus terus diperjuangkan oleh setiap generasi.

Sutomo adalah suara nurani bangsa, pahlawan yang menolak menyerah, dari pena hingga mikrofon, dari kata hingga aksi. Ia membuktikan bahwa satu suara yang tulus dan berani dapat mengubah sejarah, menegakkan martabat bangsa, dan menginspirasi Indonesia untuk terus merdeka dalam pikiran, tindakan, dan hati nurani.

Baca Juga: Sistem Pemerintahan Presidensial: Pengertian, Ciri, Sejarah, dan Penerapannya di Indonesia

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 1,077 Kali.