Keberagaman Bahasa di Pegunungan Bintang: Ngalum, Kupel dan Murop Hidup Berdampingan

Oksibil – Kabupaten Pegunungan Bintang di Provinsi Papua Pegunungan tidak hanya dikenal dengan pegunungan yang menjulang tinggi dan lembah-lembah hijau, tetapi juga dengan kekayaan budaya dan bahasa yang hidup berdampingan di tengah masyarakat. Wilayah ini menjadi rumah bagi beragam suku yang masing-masing memiliki bahasa, logat, dan dialek unik yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Di tengah perubahan zaman dan masuknya pengaruh modern, bahasa-bahasa lokal di Pegunungan Bintang tetap menjadi bagian penting dari identitas dan kebanggaan Masyarakat Pegunungan Bintang

 

Tercatat ada tiga bahasa utama yang digunakan oleh masyarakat Pegunungan Bintang, yaitu bahasa Ngalum, Kupel (Ketengban), dan Murop. Ketiga bahasa ini tersebar di berbagai wilayah kabupaten, dengan kekhasan tersendiri baik dalam struktur kalimat, intonasi, maupun cara pelafalan. Masing-masing bahasa merepresentasikan akar budaya dan sejarah panjang masyarakat yang telah hidup di wilayah ini jauh sebelum terbentuknya pemerintahan modern.

 

Bahasa Sehari-hari di Oksibil

Sebagai ibu kota kabupaten, Oksibil menjadi titik pertemuan berbagai suku dan budaya. Bahasa sehari-hari yang digunakan di kota ini umumnya adalah Bahasa Indonesia dengan campuran dialek lokal. Campuran ini mencerminkan pertemuan antarbudaya yang hidup harmonis di pusat pemerintahan.

Warga yang berasal dari berbagai distrik menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi satu sama lain, sementara dalam lingkungan keluarga dan komunitas adat, mereka tetap mempertahankan bahasa daerah masing-masing.

Fenomena ini menciptakan suasana multibahasa yang menarik, di mana perbedaan bukan menjadi pemisah, tetapi menjadi warna yang memperkaya kehidupan sosial masyarakat Pegunungan Bintang.

 

Wilayah I: Bahasa Ngalum yang Dominan

Bahasa Ngalum merupakan salah satu bahasa yang paling luas digunakan di Pegunungan Bintang. Bahasa ini digunakan di Wilayah I, yang meliputi distrik Oksibil, Kalomdol, Serambakon, Pepera, Okaom, Okbape, Oksop, dan Oksebang. Bahasa Ngalum dikenal memiliki pelafalan yang lembut dengan irama percakapan yang khas. Di banyak daerah, bahasa ini menjadi bahasa ibu yang diwariskan secara turun-temurun melalui percakapan keluarga, kegiatan adat, dan upacara keagamaan. Selain di Wilayah I, dialek Ngalum juga digunakan di beberapa distrik di wilayah lain karena hubungan kekerabatan antarsuku yang masih kuat. Misalnya, dalam kegiatan sosial dan perdagangan, warga yang berasal dari wilayah berbeda masih dapat saling memahami karena adanya kemiripan dialek.

 

 

Wilayah II: Dua Bahasa yang Hidup Berdampingan

Wilayah II meliputi distrik Kiwirok, Okbibab, Oksamol, Oklip, Kiwirok Timur, Okhika, Okbemtau, Batom, dan Okbab. Di wilayah ini, bahasa Ngalum masih menjadi bahasa pengantar utama dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di beberapa daerah, penggunaan bahasa lokal menunjukkan keunikan tersendiri.

 

Di Distrik Batom, masyarakat menggunakan dua ragam bahasa, yakni Yepmum dan Asbe, yang keduanya termasuk dalam rumpun bahasa Ngalum dengan variasi pelafalan khas wilayah tersebut. Sementara itu, di Distrik Okbab, masyarakat menggunakan dua bahasa utama, yaitu Ketengban (Telep) dan Ngalum (Yepmum).

Kedua bahasa ini hidup berdampingan dan sering digunakan dalam konteks yang berbeda: dalam percakapan antarwarga di kampung, bahasa Ketengban lebih umum digunakan, sedangkan dalam urusan resmi, pertemuan adat, maupun komunikasi antar wilayah, bahasa Ngalum lebih sering dipakai.

 

Kondisi ini menunjukkan tingkat toleransi dan fleksibilitas masyarakat Okbab dan sekitarnya dalam menjaga keberagaman linguistik tanpa menghapus satu sama lain.

Bahasa menjadi simbol persatuan dan penghormatan terhadap keberagaman budaya yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.

 

Selain itu, wilayah ini juga memiliki kekayaan budaya yang erat kaitannya dengan penggunaan bahasa. Dalam berbagai kegiatan adat seperti pernikahan, dan upacara penghormatan leluhur, bahasa lokal menjadi bagian penting dari ritual.

Bagi masyarakat Pegunungan Bintang, bahasa bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga identitas, kebanggaan, dan perekat sosial yang memperkuat rasa kebersamaan di tengah perbedaan.

 

Wilayah III: Bahasa Ketengban yang Kaya dan Khas

Bahasa Ketengban, atau dalam istilah lokal dikenal sebagai bahasa Telepe, digunakan secara luas di Wilayah III, meliputi distrik Borme, Bime, Aboy, Pamek, Eipume, Teiraplu, Batani, Weime, dan Nongme. Bahasa ini memiliki karakteristik tersendiri dengan nada bicara yang kuat dan kosakata yang kaya. Bagi masyarakat Ketengban, bahasa adalah bagian dari jati diri. Mereka percaya bahwa berbicara dalam bahasa ibu adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur dan budaya mereka sendiri. Oleh karena itu, di sekolah-sekolah informal atau dalam kelompok belajar adat, generasi muda diajarkan untuk tetap fasih berbicara dalam bahasa Ketengban meskipun mereka juga menggunakan Bahasa Indonesia.

 

Wilayah Selatan: Bahasa Murop yang Terjaga

Sementara itu, bahasa Murop atau Lapmum digunakan di beberapa distrik di Wilayah Selatan, yang secara administratif masuk dalam Wilayah I bagian timur. Bahasa ini dituturkan di Distrik Iwur dengan sapaan utama bernama Lapmum bersama Distrik Tarup, serta di Distrik Kawor  dengan sapaan utama Lap bersama Distrik Awinbon.

 

Bahasa Murop memiliki struktur dan intonasi yang cukup berbeda dibandingkan bahasa Ngalum dan Ketengban. Meskipun jumlah penuturnya lebih sedikit, bahasa ini tetap bertahan kuat karena masyarakat di wilayah selatan Pegunungan Bintang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya.

 

Di tengah modernisasi yang perlahan masuk ke wilayah pegunungan, masyarakat setempat berupaya menjaga bahasa Murop agar tidak punah. Upaya pelestarian ini dilakukan melalui pendidikan lokal berbasis komunitas adat,komunitas gereja serta dengan menggunakan bahasa Murop dalam kegiatan keagamaan, upacara adat, dan interaksi sosial sehari-hari. Bagi masyarakat Murop, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol jati diri dan warisan leluhur yang harus dijaga untuk generasi mendatang.

 

Bahasa Indonesia sebagai Penghubung

Keberagaman bahasa di Pegunungan Bintang tidak menjadi penghalang bagi masyarakat untuk hidup berdampingan. Justru, perbedaan bahasa menjadi sarana mempererat hubungan sosial antar wilayah. Bahasa Indonesia berperan sebagai bahasa penghubung utama, terutama dalam kegiatan pemerintahan, pendidikan, dan pelayanan publik.

Penggunaan Bahasa Indonesia tidak menggantikan bahasa lokal, melainkan menjadi pelengkap agar komunikasi antarwilayah dapat berjalan dengan baik. Hal ini mencerminkan semangat kebersamaan yang kuat di antara masyarakat Pegunungan Bintang.

 

Peran KPU dalam Menjaga Kearifan Lokal

Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pegunungan Bintang menyadari pentingnya bahasa sebagai jembatan komunikasi dan pemahaman masyarakat. Setiap tahapan kepemiluan di wilayah ini dilakukan dengan pendekatan yang menghormati keragaman bahasa dan budaya lokal. Petugas KPU di lapangan sering menggunakan bahasa daerah untuk menjelaskan tahapan pemilu kepada masyarakat, agar pesan demokrasi dapat diterima dengan baik dan tidak menimbulkan salah tafsir.

 

Pendekatan komunikasi berbasis kearifan lokal ini terbukti efektif. Di daerah-daerah dengan tingkat literasi beragam, penggunaan bahasa lokal membantu masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka sebagai pemilih. Selain itu, dengan menghormati bahasa dan budaya setempat, KPU juga ikut memperkuat rasa percaya dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.

 

Kehadiran KPU di tengah masyarakat multibahasa seperti Pegunungan Bintang bukan sekadar melaksanakan tugas konstitusional, tetapi juga berperan sebagai penjaga nilai-nilai lokal dan jembatan antarbudaya. Demokrasi di Pegunungan Bintang tumbuh dari akar masyarakat yang kuat, dari bahasa yang hidup di setiap kampung, dan dari semangat kebersamaan yang tetap terjaga di tengah perbedaan.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 46 Kali.