DPS dan DPT: Perbedaan dan Proses Penyusunan oleh KPU

Dari data Pemerintah yang masih mentah hingga menjadi daftar pemilih akhir, ada sebuah proses penyaringan yang rumit. Di tengah proses inilah, DPS hadir sebagai 'draf rahasia' yang menentukan siapa saja yang akan masuk dan siapa yang akan tersingkir dari DPT. Untuk itu kami akan menjelaskan bagaimana proses penyusunannya, simak terus!

Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri 
Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum, ada yang disebut Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT)

Daftar Pemilih yaitu hasil kegiatan pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh KPU/KIP Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih).
 


Proses Penyusunan oleh KPU


Berdasarkan regulasi dan sumber berita, berikut rangkaian penjabarannya:
* Pemerintah menyediakan bahan dasar: data penduduk potensial pemilih (DP4) yang diserahkan oleh instansi terkait kepada KPU.  
* KPU kabupaten/kota bersama PPK, PPS, dan petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih) melakukan coklit (pencocokan dan penelitian) ke rumah-rumah untuk memastikan data siapa yang memenuhi syarat, pindah domisili, meninggal dunia, pemilih ganda, dll.  
* Hasil coklit dan pemutakhiran tersebut kemudian dijadikan bahan penyusunan DPS oleh KPU kabupaten/kota.  
* DPS diumumkan dalam tempo yang ditentukan (misalnya 21 hari) di tingkat desa/kelurahan untuk diakses masyarakat.
Masyarakat dapat memberi tanggapan misalnya jika belum terdaftar, data ganda, belum 17 tahun, meninggal, dll.  
* Berdasarkan input/maupun tanggapan masyarakat, kemudian dibuat DPS Hasil Perbaikan (DPSHP).  
* Setelah DPSHP selesai, kemudian melalui rapat pleno berjenjang (desa/kelurahan → kecamatan → kabupaten/kota) dilakukan rekapitulasi akhir dan ditetapkan menjadi DPT oleh KPU kabupaten/kota.  

* DPT selanjutnya diumumkan dan digunakan sebagai dasar pelaksanaan pemungutan suara.  
Prosesnya panjang, melibatkan banyak pihak (KPU hingga tingkat kelurahan/desa, petugas lapangan, masyarakat) dan beberapa tahapan (DP4 - Coklit - DPS - DPSHP - DPT).
Tujuannya agar data pemilih valid, akurat, dan inklusif (warga yang berhak mendapat perlakuan adil).

Masyarakat dapat mengecek status daftar pemilih mereka melalui situs cekdptonline.kpu.go.id
Melalui situs ini, masyarakat bisa memastikan apakah sudah terdaftar dalam DPT atau melaporkan diri jika belum terdaftar, serta dapat mengoreksi data yang keliru.  
1. DPT (Daftar Pemilih Tetap) adalah daftar akhir pemilih yang sudah sah, sedangkan DPS (Daftar Pemilih Sementara) adalah daftar pemilih yang masih dalam tahap penyusunan dan perbaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). 
DPS merupakan hasil pemutakhiran data yang kemudian diumumkan kepada masyarakat untuk diberi masukan dan tanggapan. 
Setelah masukan diterima dan diproses, DPS diperbaiki hingga menjadi DPT yang ditetapkan di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional. 

2. Daftar Pemilih Sementara (DPS)
Daftar pemilih yang disusun berdasarkan proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh KPU dengan dibantu Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan petugas lainnya.
Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan pengecekan dan memberikan tanggapan terhadap data yang ada.
Prosesnya yaitu DPS disusun oleh KPU Kabupaten/Kota.


Nilai Dasar KPU: Fondasi Integritas Penyelenggara Pemilu 

Nilai dasar Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi fondasi integritas penyelenggara pemilu mencakup integritas, kemandirian (independensi), dan profesionalitas. 
Nilai-nilai ini dijabarkan lebih lanjut melalui kode etik dan perilaku penyelenggara pemilu, yang meliputi sebagai berikut:

* Integritas:
Bertindak jujur, adil, dan tidak memihak dalam setiap tahapan pemilu. 
Penyelenggara pemilu yang berintegritas menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan publik dan kredibilitas hasil pemilu secara keseluruhan.

Kemandirian/Independensi: 
Bersifat Nasional, tetap, dan mandiri, bebas dari pengaruh pihak mana pun, sesuai amanat UUD 1945. 
Kemandirian ini adalah prinsip utama untuk menjamin netralitas dan objektivitas.

Profesionalitas: 
Memiliki kemampuan teknis dan melaksanakan tugas sesuai prosedur, efektif, dan efisien.

Netralitas: Menjaga sikap tidak memihak kepada kontestan atau kepentingan politik tertentu.

Akuntabilitas: Bertanggung jawab atas setiap tindakan dan keputusan yang diambil, serta transparan dalam menjalankan tugas. 
Penerapan nilai-nilai dasar ini secara konsisten menjadi esensi penting dalam tata kelola pemilu yang berintegritas dan demokratis di Indonesia. 

Makna Fondasi Integritas bagi Nilai Dasar KPU

Berdasarkan artikel-artikel di atas, berikut adalah pemaknaan dan implikasi pentingnya integritas dalam konteks nilai dasar KPU:
* Integritas sebagai pilar moral & etika: Artikel DKPP menyampaikan bahwa etika dan integritas adalah fondasi artinya tanpa integritas, nilai-dasar seperti mandiri, jujur, adil, transparan tidak akan dijalankan secara substansial.

* Kepercayaan publik: Keberhasilan penyelenggaraan pemilu yang demokratis sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat terhadap KPU/penyelenggara. 
Integritas penyelenggara → kepercayaan → legitimasi hasil pemilu.

* Nilai-dasar KPU terwujud lewat integritas: Nilai dasar yang disebut misalnya integritas, profesionalisme, mandiri, transparan, akuntabel.

Karena jika penyelenggara tidak menjalankan nilai tersebut dengan integritas, maka nilai itu menjadi sekadar formalitas.

* Mencegah penyimpangan & kecurangan: Artikel riset menyebut bahwa penyelenggara tanpa integritas tinggi berpotensi melakukan kecurangan yang merusak asas pemilu seperti jujur dan adil.  

* Kepatuhan terhadap kode etik dan regulasi: Untuk menjaga integritas, penyelenggara harus patuh terhadap kode etik (misalnya peraturan KPU, DKPP) dan aturan hukum (UU Pemilu) sehingga nilai-dasar bisa dipertanggungjawabkan.

Implikasi Praktis untuk Demokrasi Indonesia

Bila integritas penyelenggara terjaga, maka proses pemilu akan lebih kredibel, yang mendukung demokrasi yang sehat.
Sebaliknya, jika integritas lemah (misalnya penyelenggara berpihak, melanggar aturan, manipulasi data), maka nilai-dasar KPU seperti keadilan, netralitas, akuntabilitas menjadi rusak → demokrasi bisa melemah.

Masyarakat dan pemangku kepentingan harus terus mengawasi agar penyelenggara benar-benar memegang nilai dasar, bukan hanya menjalankan tugas administratif.

Institusi pengawasan seperti DKPP, Bawaslu, dan mekanisme nilai seperti SPI (Survei Penilaian Integritas) menjadi penting untuk memastikan penyelenggara memegang teguh integritas.

Pendidikan demokrasi publik juga penting agar pemilih memahami bahwa bukan hanya hasil pemilu yang penting, tetapi bagaimana penyelenggara menjalankan prosesnya dengan integritas.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 80 Kali.